Jelitapos.com – Kabupaten Konawe – Dugaan penganiayaan brutal terhadap dua orang tahanan titipan Polres Konawe di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Unaaha, Kabupaten Konawe, menuai gelombang kemarahan publik dan kritik tajam dari berbagai pihak.
Peristiwa ini dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan mencoreng citra institusi pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan tempat penyiksaan.
Dua tahanan, yakni S alias SP dan iparnya MA alias Y, mengalami luka -luka pada bagian tubuh serta trauma sikis mendalam akibat dugaan kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum petugas rutan pada Kamis, 16 Mei 2025, di Pos 2 Rutan Unaaha.
Praktisi Hukum sekaligus Presidium Aliansi Pemuda Sultra, Yongki Ardiansyah, SH., mengecam keras tindakan tersebut, dan menyatakan bahwa para pelaku harus segera ditangkap dan diproses secara hukum,” jelasnya.
“Apa yang dilakukan oleh oknum petugas rutan Unaaha adalah tindakan kriminal, bukan sekadar pelanggaran etik. Ini penganiayaan yang tidak dapat ditolerir,” tegas Yongki.
Tindakan kekerasan ini, menurut Yongki, telah melanggar berbagai ketentuan hukum. Di antaranya Pasal 351 KUHP lama yang mengatur tindak pidana penganiayaan, serta Pasal 466 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau denda maksimal Rp50 juta. Apabila mengakibatkan luka berat, maka ancaman hukuman meningkat menjadi maksimal 5 tahun penjara.”
Yongki juga menegaskan bahwa, tindakan tersebut mencerminkan kegagalan mendasar institusi pemasyarakatan dalam menjalankan fungsi reformasi dan pembinaan terhadap tahanan.
Tak hanya para sipir, Kepala Rutan Unaaha, Hery Kusbandono, turut mendapat sorotan. Aliansi Pemuda Sultra menilai Hery gagal memimpin dan mengawasi bawahannya.
“Sikap Karutan yang sibuk memberikan klarifikasi justru memperlihatkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah. Pemimpin seperti ini sebaiknya segera diganti,” Yongki.
Aliansi Pemuda Sultra juga secara tegas meminta Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Sulawesi Tenggara dan Ditjen Pemasyarakatan untuk segera mencopot Kepala Rumah Tahanan (Karutan) Kelas IIB Unaaha.
Karutan Unaaha dinilai telah gagal menjalankan fungsi pengawasan, pembinaan, dan perlindungan terhadap hak-hak warga binaan, serta dianggap lalai dalam membina bawahannya yang justru melakukan tindakan kekerasan yang bertentangan dengan semangat pemasyarakatan. Dalam pandangan mereka, seorang pemimpin lembaga pemasyarakatan tidak cukup hanya bisa mengatur administratif, tetapi juga harus mampu menjamin rasa aman dan martabat manusiawi warga binaan, sesuai amanat undang-undang.
“Kami menilai Karutan Unaaha sudah tidak layak memimpin. Kekerasan di dalam rutan adalah bukti nyata kegagalan karena lemahnya kepemimpinan dan pengawasan,” tegas Yongki Ardiansyah, SH, Presidium Aliansi Pemuda Sultra. Ia juga menambahkan bahwa jika pimpinan tidak bisa menjamin penghormatan terhadap hak asasi para tahanan, maka satu-satunya pilihan yang logis adalah penggantian jabatan secara tegas dan segera.
Yongki juga menduga keterlibatan Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) karena dianggap lalai dalam mengawasi anggotanya, khususnya petugas berinisial H yang diduga menjadi pelaku utama penganiayaan.
Selain itu, Tindakan kekerasan oleh petugas rutan ini juga dianggap melanggar kode etik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 PP No. 58/1999 dan Permenkumham No. 16/2011. Dalam Pasal 4 dan Pasal 7 huruf a Permenkumham tersebut ditegaskan bahwa setiap pegawai pemasyarakatan wajib menghormati harkat, martabat, dan hak warga binaan, serta menjauhkan diri dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan.
“Sangat jelas, tugas petugas pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan, bukan menyiksa. Ini pelanggaran etika, moral, dan hukum sekaligus,” tegas Yongki.
Lebih lanjut Yongki mengatakan, Berdasarkan Pasal 25 Permenkumham 16/2011, petugas yang melanggar kode etik dapat dikenakan sanksi moral berupa pernyataan tertutup atau terbuka yang disampaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Selain itu, sanksi administratif hingga pencopotan jabatan juga bisa diberlakukan jika pelanggaran dinilai berat.
Aliansi Pemuda Sultra juga mendesak Polres Konawe untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan menangkap para pelaku.
“Kita harus pastikan bahwa hukum berdiri tegak dan berlaku untuk siapa pun tanpa pandang bulu. Semua yang melanggar hukum harus diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku,” ujar Yongki.
Dia menegaskan bahwa jika pelaku tidak segera ditahan, maka akan timbul penilaian buruk terhadap sistem hukum dan pemasyarakatan di Indonesia khususnya di rutan kelas II B unaaha
“Narapidana di rutan bukan musuh negara. Mereka sedang menjalani sanksi hukum, bukan untuk disiksa. Kalau mereka malah disiksa, maka misi pemasyarakatan itu gagal total,” pungkasnya.
Aliansi Pemuda Sultra menuntut agar Kepolisian Resor Konawe segera melakukan penyelidikan dan penahanan terhadap pelaku penganiayaan, serta menindak tegas setiap pihak yang terlibat atau lalai dalam pengawasan. Mereka juga menyerukan pencopotan Kepala Rutan Unaaha dan reformasi struktural dalam sistem pemasyarakatan agar tidak terulang kasus serupa di masa mendatang.
Laporan: Redaksi