Jelitapos.com | Langsa Aceh.-
Kegiatan Bimbingan Teknik (Bimtek) para Geuchik se- Aceh khususnya di Kota Langsa kian memukau dan menjadi perhatian publik , pasalnya trik kerja yang sangat rapi dilakukan para penitip Program Bimtek kepada lembaga swasta atau secara langsung dari Institusi tertentu dinilai cara mainnya apik (main cantik), hal tersebut sebagai mana dikatakan Aktivis Ormas Kota Langsa, Junaidy dalam realisenya yang disampaikan kepada media ini, Jum’at, (06/10/23)
Hal ini mungkin mereka lakukan sebagai upaya menutupi tindakan serta prilaku yang tidak dibenarkan oleh institusi tempat mereka bertugas, bahkan memang tidak ada aturan yang menghalalkan mereka untuk mengintervensi penggunaan anggaran desa yang bersumber dari APBN itu.
“Mereka hanya dibenarkan untuk melakukan Pengawasan, Pembinaan bahkan Penindakan jika penggunaan anggaran negara diselewengkan dan mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap keuangan negara, namun yang dipertontonkan malah ibarat pagar makan tanaman alias jeruk makan jeruk” jelas Junaidy
Ironisnya, apabila awak media massa menanyakan hal diatas, upaya pura-pura tidak tahu kerap dilkukan, mereka acap kali “lempar batu sembunyi tangan” atau dengan pola “lempar bola” berkilah ini itulah seakan tidak tahu jeritan masyarakat.
Lanjutnya, bagi kalangan tertentu praktik tersebut telah menjadi rahasia yang diketahui umum, kewenangan yang melekat pada institusi kerap disalah gunakan dan dimanfaatkan kepada yang bersifat lain. Itu dilakukan oleh segelintir pihak yang disintegrasi dan tidak profesional dalam menjalankan tanggung jawab.
Yang uniknya, para Geuchik ketika dikonfirmasi pura-pura memasang muka memelas, seakan-akan berat mengikuti Bimtek (“atau pura-pura saja).
Padahal ketika sampai ditujuan mereka sangat Euphoria dan sempat-sempatnya berpose ria ditempat-tempat yang fantastis dan mengasyikkan, sehingga terbersit sebuah pertanyaan dibenak kita “tidak ada bebankah mereka (para Geuchik) terhadap desa dan warga masyarakatnya ?
Padahal dana
Bimtek yang sangat besar itu bisa untuk kebutuhan pembangunan desa hingga dapat mensejahteraan masyarakatnya” sebut Junaidy lagi.
Malahan ada beberapa Geuchik yang bermodus pura-pura mengeluh“Sebenarnya kami malas (sudah bosan) mengikuti Bimtek dan semacam nya tapi bagaimanalah, memang anggaran Bimtek atau Study banding telah dianggarkan namun dananya belum turun, ya mau tak mau kami harus pinjam sana pinjam sini, apalagi sudah ditentukan untuk satu desa/gampong harus 2 orang yang mengikuti Bimtek, dimana kami cari dananya ?”, keluh mereka.
Namun, celoteh masyarakat semua itu hanya formalitas dan sejenis modus, para Geuchik tidak akan mengikuti jika hanya melihat lembaga Khatulistiwa itu saja, namun yang mereka lihat adalah potensi ketakutan yang besar (Dilema)
Bagi mereka (Geuchik) yang bersih, pressure (keterpaksaan) semacam itu bukanlah sesuatu kekhawatiran yang harus dipikirkan, namun bagi mereka yang merasa ada sedikit kesalahan, pressure itu menjadi sebuah dilema (momok) yang paling menakutkan. Mau tidak mau harus mau.
Penutup realisenya, aktivis dan juga wartawan itu menyebutkan, “program bimtek atau study banding apa lagi yang direncanakan dimasa akan datang ?
(Medy SP)